BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Seluruh umat islam sepakat bahwa hadist merupakan salah satu
sumber hokum islam, dan seluruh umat islam diwajibkan mengikutinya.Meski begitu
besarnya fungsi dan kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran
al-Karim, namun seperti dicatat dalam sejarah, ternyata penulisan dan
kodifikasi Hadis secara resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Begitu lamanya rentang antara waktu sejak meninggalnya Rasulullah saw.
hingga waktu kodifikasi Hadis.
Dalam perjalanan sejarah Hadis, banyak muncul Hadis-Hadis
palsu yang diterbitkan oleh beberapa golongan untuk tujuan tertentu baik
politik. Makalah ini akan menguraikan tentang Hadis palsu dan beberapa kajian
yang berkaitan dengannya.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadis maudhu?
2. Apa yang melatar belakangi munculnya
hdist maudhu?
3. Apa saja kaidah-kaidah untuk
mengetahui hadist maudhu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
HADITS MAUDHU
Secara bahasa, kata maudhu’
merupakan isim maf’ul dari وضع yaitu موضوع yang mempunyai
arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq
(mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Rumusan pengertian secara istilah hadits maudhu’ adalah
sebagai berikut:
الموضوع
المختلق المصنوع المنسوب الى رسول الله صلعم زورا وبهتانا سواء كان ذالك عمدا او
خطاء
Artinya: “Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW
secar dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun
menetapkannya.
Jadi hadits maudhu’ adalah bukan
hadits yang bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain bukan hadits Rasul,
tetapi perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan
suatu alasan yang kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
Pada mulanya para ulama’ berbeda
pendapat tentang benar tidaknya terjadi pemalsuan hadits jika dilihat dari
periwayatannya. Dalam hal ini ada tiga pendapat di kalangan para
Muhadditsin.Pendapat pertama, dianut oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma’ruf
Asy-Syi’I yang menyatakan bahwa pemalsuan hadits dan munculnya riwayat hadits
maudhu’ mulai terjadi pada periode Nabi Muhammad SAW, didasarkan pada hadits
Nabi yang mengecam keras terhadap setiap orang yang berusaha melakukan
pendustaan diri Nabi, berupa berita atau pembuatan hadits. Sebagaiman sabda
Nabi:
من
كذب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار
Artinya:“Barangsiapa berdusta terhadap diriku secara
sengaja, dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka”.
Pendapat kedua, dingkapkan oleh
Akram Al-Umari yang menyatakan bahwa gerakan pemalsuan hadits mulai terjadi
sejak paruh kedua kekhalifahan Utsman Ibn Affan. Pada masa itu timbul
pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh
beberapa riwayat palsu yang beredar dan berawsal dari kalangan sahabat, salah
satunya riwayat Ibn Addis dari Rasulullah SAW:
(sandal Utsman lebih sesat daripada Ubaidah). Dengan riwayat
tersebut bisa diduga bahwa Ibn Addis adalah orangn yang pertama melakukan
pemalsuan hadits.
Pendapat ketiga, dikemukakan oleh
Abu Syuhbah dan Abu Zahu, yang mengambil dasar pendapatnya dari masa terjadinya
penyusupan musuh-musuh Islam ketika terjadinya masa al-fitnah (kekacauan) pada
masa kepemimpinan Utsman.
Pernah ditanyakan kepada Imam Abdullah bin Al;Mubarak: “
untuk apa hadist-hadist maudhu’ ini dibuat?” ibnul Mubarak menjawab:”untuk
itulah para cendikiawan hidup.” Firman Allah: sesungguhnya kamilah yang
menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya.”(Al-Hijr:9)[1].
Memang sebenarnya para cendikiawan hidup untuk itu. Mereka menciptakan metode
ilmiah yang rumit, yang bias digunakan untuk membedakan riwayat yang shahih
dengan hadist rekaan. [2]
Kebanyakan
ulama Hadis berpendapat bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi pertamakalinya
setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang kontra
dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terpecahnya ummat Islam dan
muncul golongan-golongan kelompok agama dan politik yang berbeda. Antar
kelompok yang ada saling menguatkan kelompoknya dengan Alquran al-Karim dan
sunnah. Tentu saja tidak setiap golongan menguatkan kelompoknya dengan
menggunakan Alquran al-Karim dan sunnah, maka sebagian mencoba mentakwilkan
Alquran al-Karim dan menafsirkan Hadis dengan cara yang tidak benar. Ketika
sebuah ayat maupun Hadis tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai
tujuannya (karena banyaknya orang yang menghafal Alquran al-Karim dan sunnah)
maka mereka mencoba berdalih dengan membuat-buat Hadis dan kebohongan atas
Rasulullah saw. Maka muncullah Hadis-Hadis yang berkenaan dengan khalifah yang
empat dan pemimpin masing-masing kelompok. Demikian juga halnya dengan
aliran-aliran politik, agama dan lainnya.[10]
Dari
uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting tentang berkembangnya
pemalsuan Hadis:
1. pemalsuan yang dipandang terjadi
pada masa Rasulullah saw. seperti yang dikatakan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin,
tidak didukung dengan fakta yang kuat.
2. pada masa Rasulullah saw. dan
sahabat terdapat pula periwayatan ajaran agama Islam sebagai nasehat yang dilakukan secara
cermat yang dimaknai bukan sebagai pemalsuan.
3. pemalsuan muncul berawal dari kecerobohan oleh
perawi-perawi yang lemah dengan cara:
a.
memarfu’kan Hadis mauquf
b.
menyambungkan Hadis mursal.
Hal ini
terjadi pada pertengahan masa tabi’in yang berlanjut dengan kebohongan dalam
mentakwilkan ayat dan Hadis hingga berujung kepada pemalsuan Hadis.
4. kebanyakan ulama mengindikasikan terjadinya
pemalsuan setelah tahun 40 H yang dipicu oleh persoalan politik, filsafat dan
faham keagamaan.
B. LATAR
BELAKANG MUNCULNYA HADIST MAUDHU’
1. Pertentangan politik
Perpecahan
umat Islam yang terjadi pada masa kekhalifahan ali bin Abi Thalib besar sekali
pengaruhnya terhadap kemunculan hadits-hadits palsu. Masing-masing kelompok
berusaha mencari dalilnya ke dalam Alqur’an dan sunnah untuk mengunggulkan
kelompoknya. Konflik-konflik politik telah menyeret permasalahan keagamaan
masuk ke dalam arena perpolitikan dan membawa pengaruh juga pada
mazhab-mazhabkeagamaan. Pada akhirnya masing-masing kelompok berusaha mencari
dalilnya ke dalam al-Quran dan sunnah dalam rangka mengunggulkan kelompok dan
mazhab nya masing-masing. Menurut Ibn Abi Al-Haddad dalam Syarah Nahj
Al-Balaghah, bahwa pihak yang pertama membuat hadits adalah dari golongan
Syi’ah, dan ahlu Al-Sunnah menandinginya dengan hadits lain yang juga maudhu’.
Contoh hadits palsu yang dibuat oleh golongan Syi’ah:
على خير
البشر من شك فيه كفر
Ali adalah orang terbaik, barang
siapa yang meragukannya maka ia telah kafir.
Sedangkan
Hadis yang dibuat oleh kelompok Mu’awiyah adalah:
ألا صفاء عند الله ثلاثة أنا و جبريل
و معاوية
Artinya:’’Ingatlah! Yang suci
menurut Allah swt.hanya tiga, saya, Jibril dan Mu’awiya”.
Sementara
kelompok Khawarij tidak membuat Hadis yang sesuai dengan keyakinan mereka bahwa
berbohong adalah dosa besar dan pelaku dosa besar adalah kafir
2. Usaha kaum zindik
Kaum zindik termasuk kaum golongan
yang membenci islam sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka
tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan
al-Quran, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan
hadist, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam.’Abd Al-Karim ibn ‘Auja’
yang dihukum mati oleh Muhammad Sulaiman bin ‘Ali, wali wilayah basrah, ketika
hukuman akan dilakukan dia mengatakan “Demi Allah saya telah membuat hadist palsu
sebanyak 4.000 hadist. Seorang zindiq telah mengaku dihadapan khalifah Al;Mahdi
bahwa dirinya telah membuat ratusan hadist palsu. Hadist palsu ini telah
tersebar dikalangan masyarakat[3].
Muhammad bin Zaid mengatakan “hadist yang dibuat kaum Zindik ini berjumlah
12.000 hadist[4].
Contoh hadist yang dibuat oleh golongan zindiq ini antara lain:
“ melihat wajah cantik termasuk
ibadah”.
Di antara
nama-nama orang-orang zindiq yang memalsukan Hadis adalah Muhammad ibnu Said
al-Samiy. Dia meriwayatkan Hadis yang diakuinya berasal dari Humaid dari Anas
dari Rasulullah saw. berbunyi:
أنا خاتم النبيين لا نبي بعدى إلا أن
يشاء الله
Artinya:“Aku adalah penutup para
nabi-nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah swt.menghendakinya.:
Tokoh
lainnya adalah Abdul Karim ibnu al-Auza’ yang telah memalsukan sebanyak 4000
Hadis yang berhubungan dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang
halal.Mereka memalsukan Hadis untuk tujuan mengkaburkan dan menghilangkan
kemurnian agama dalam pandangan ahli fikir dan ilmu.
3. Fanatic terhadap bangsa, suku,
negeri, bahasa, dan pimpinan
Mereka membuat hadist palsu karena
didorong oleh keegoisan dan ingin menonjolkan seseorang, bansa, kelompok, dan
sebagainya. Golongan Al-Syu’ubiyah yang fanatiki terhadap bahasa persi
mengatakan :
“ apabila Allah murka, maka Dia
menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila senang maka akan menurunkannya
dengan bahasa persi”.
Demikian juga golongan orang yang
menentang Imam Syafi’I membuat hadist palsu, seperti “ dikemudian hari aka nada
seorang uma-Ku yang bernama Muhammad bin Idris. Ia akan lebih menimbulkan
mudharat kepada umatku dari pada iblis”.
Para
pendukung bahasa Persia menciptakan Hadis yang menyatakan kemuliaan bahasa
tersebut, seperti:
إ ن
كلام الذى حول العرش فارسى
Artinya:“sesungguhnya permbicaraan
di sekitar Arsy adalah menggunakan bahasa Persia.”
Sementara
kelompok yang menantangnya membuat Hadis yang lain seperti:
أبغض كلام عند الله فارسى
Artinya:“Pembicaraan
yang paling dibenci oleh Allah swt.adalah bahasa Persia.”
4. Mempengaruhi kaum awam dengan kisah
dan nasihat
Latar
belakang mereka melakukan pemalsuan hadist ini adalah guna memperoleh simpatik
dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Hadist yang
mereka katakana sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Sebahgai contoh, “
Barang siapa yang mengucapkan kalimat Allahh akan mencitakan seekor burung(
sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan
bulunya dari marjan”.
5. Perselisihan Madzhab dan ilmu kalam
Munculnya
pemalsuan hadist ini dimulain sejak tahun 41 H, pada masa pemerintahan khalifah
keempat Ali bin Abi Thalib r.a., ketika kaum muslimin saling berselisih dan
terpecah-pecah dalam beberapa kelompok: mayoritas kaum muslimin, khawarij dan
syi’ah dan sebagainya. Mereka banyak mengarang hadist untuk kepentingannya
sendiri.[5]
Sedangkan
munculnya hadist-hadist palsu dalam maslah fiqih dan ilmu kalam berasal dari
pengikut mahzab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadist karena didorong sifat
fanatic dan ingin menguatkan mahzab nya masing-masing.[6]
Hadist-hadist palsu tentang maslah ini antara lain :
a. Siapa yang mengangkat kedua
tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.
b. Jibril menjadi imamku dalam shalat
di Ka’bah, ia( jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
c. Yang junub wajib berkumur dan
menghisap air tiga kali
d. Semua yang ada bumin dan dilangit
serta diantara keduanya adalah makhluk kecuali Allah dan Al-Quran. Dan kelak
akan ada diantara umatku yang menyatakan “ al-Quran itu makhluk”. Barang siapa
yang menyatakan demikian, niscaya ia telah kufure kepada Allah Yang Maha Agung
dan saat itu pula jatuh talak kepada istrinya.
6. Membangkitkan semangat beribadah,
tanpa mengerti apa yang dilakukan
Banyak
diantara para ulama yang membuat hadist-hadist palsu dengan dan bahkan mengira
usahanya itu benar dan merupakan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
serta menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan “kami berdosa-semata-mata
untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah
dan bukan sebaliknya”.
Nuh bin
Abi Maryam telah membuat hadist berkenaan dengan fadhillah membaca surat-surat
tertentu dalam al-Quran. Ghulam Al-Khail(dikenal ahli zuhud) membuat hadist
tentang keutamaan wirid dengan maksud memperhalus kalbu manusia.
7. Menjilat
penguasa
Ghiyas
bin Ibrahim merupakan tokoh yamnng banyak ditulis dalam kitab hadist sebagai
pemalsu hadist tentang “perlombaan”. Matan asli sabda Rasulullah berbunyi:
“Kemudian Ghiyats menambah kata dalam akhir hadits
tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah atau simpatik dari khalifah
Al-Mahdy. Setelah mendengar hadits tersebut, Al-Mahdy memberikan hadiah 10.000
dirham, namun ketika berbalik hendak pergi, Al-Mahdy menegurnya, seraya berkata
aku yakin itu sebenarnya merupakan dusta atas nama Rasulullah. Saat itu juga
khalifah memerintahkan untuk menyembelih burung merpatinya.
Beberapa motif membuat hadist palsu
diatas antara lain, ada yang karena sengaja, ada yang tidak sengaja merusak
agama, dan ada yang karena keyakinannya bahwa membuat hadist palsu
diperbolehkan, serta ada yang karena tidak tahu dirinya membuat hadist palsu.[7]
C. KAIDAH-KAIDAH
UNTUK MENGETAHUI HADIST MAUDHU’
Ada
beberapa patokan yang bias dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadist
itu palsu atau shahih, diantaranya:
a. Dalam sanad
1. Atas dasar pengakuan par pembuat
hadist palsu, sebagaimana pengakuan Abu’Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia
telah membuat hadist tentang fadhilah membaca al-Quran, surat demi surat,
Ghiyas bin Ibrahim dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan masalah iniAl-Suyuthi
menyatakan, bahwa surat-surat al-Quran yang didapati dalam hadist-hadist shahih
mengenai keutamaannya hanyalah surat Al-Fatihah, Al-Baqarah,Ali-‘Imran,
Al-An’am dan tujuh surat yang panjang(dari surat Al-Baqarah sampai surat
Al-Bara’ah), surat Al-Kahfi, surat Yasin,Al-Dhukhan,Al-Mulk, Al-Zalzalah,
An-Nur,Al-Kafirun,Al-Ikhlas, dan Al-Mu’awidzatain. Selain terhadap surat-surat
tersebut, hadistnya bukanlah hadist shahih
2. Adanya qarinah(dalil) yang
menunjukkan kebohongannya, sepertib menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari
seorang syeikh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung atau
pernah menerima hadist disuatu daerah, tapi ia sendiri belum pernah melakukan
rihlah(perjalanan) ke daerah tersebut atau pernah menerima hadist dari syeihk,
tapi syeikh tersebut diketahui telah meninggal ketika ia masih kecil, dan
sebagainya.
3. Meriwayatkan hadist sendirian,
sementara diri rawi dikenal pembohong. Sementara itu tidak ditemukan dalam
riwayat lain. Maka yang demikian itu ditetapkan sebagai hadist maudhu’.
b. Dalam matan
1. Buruknya redaksi hadist, padahal
Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang sangat fasih dalam berbahasa, santun dan
enak dirasakan. Dari redaksi yang tidak baik maka akan berpengaruh kepada makna
ataupun maksud dari hadist Nabi MuhammadSAW. Kecuali bila si perawi menjelaskan
bahwa hadist itu benar-benar menunjukkan dating dari Nabi Muhammad SAW.
2. Maknanya rusak. Ibnu Hajar
menerangkan bahwa kejelasan lafadz ini dititikberatkan pada kerusakan arti,
sebab dalam sejarah tercatat”periwayatan hadist tidak mesti bi al-ladfazi akan
tetapi ada yang bi al-ma’na, terkecuali bila dikatakan bahwa lafalnya dari
Nabi, baru dikatakan hadist palsu.
3. Matannya bertentangan dengan akal
atau kenyataan, bertentangan dengan al-Quran atau hadist yang lebih kuat, atau
ijma’. Seperti hadist yang menyebutkan bahwa umur dunia 7000 tahun. Hadist ini
bertentangan dengan QS:Al-A’raf(7):187, yang intinya bahwa umur dunia hanya
diketahui oleh Allah SWT.
4. Matannya menyebut janji yang sangat
besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara
kecil. Seperti hadist yang menyatakan bahwa anak hasil perzinahan tidak masuk
surge hingga tujuh turunan. Ini menyalahi QS:Al-An’am(6):164 yang menyatakan
bahwa “ tidaklah seseorang(yang bersalah)memikul dosa orang lain.”
5. Hadist yang bertentangan dengan
kkenyataan sejarah yang benar-benar
terjadi dimasa Rasulullah SAW, dan jelas tampak kebohongannya. Seperti hadist
tentang ketentuan pajak pada penduduk khaibar. Ada beberapa hal yang menjadi
kelemahan hadist tersebut. Pertama, dikatakan bahwasanya hal itu diriwayatkan
dari Sa’ad ibn Mu’adz, padahal Sa’ad telah meninggal sebelum perang Khandaq.
Kedua, kewajiban pajak itu belum diterapkan.
6. Hadist yang terlalu melebih-lebihkan
salah satu sahabat. Seperti “ bahwasanya Nabi SAW memegang tanagn Ali ibn Ali
Thalib disuatu majelis diantara para
sahabat yang lain…kemudian Nabi bersabda:”inilah wasiatku dan saudaraku, dan
khalifah setelahku..” kemudian sahabat yang lainnya sepakat. Hadist tersebut
jelas kepalsuannya.[8]
D. UPAYA
PENYELAMATAN HADIST
Untuk
menyelamatkan hadist Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah gencarnya pembuatan
hadist palsu, ulama hadist menyusun berbagai kaisdah penelitian hadist.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para ulama tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meneliti
system penyandaran hadist. Para sahabat dan tabi’in tidak sembarangan mengambil
hadist dari seseorang. Mereka meneliti dengan seksama proses penukilan dan
periwayatan hadist. Pada masa sahabat memang hamper tidak ada penyelewengan
dalam periwayatan hadist, sehingga ketika mereka mendapatkan dari sahabat lain
mereka tidak akan menanyakan dari mana hadist ini didapat. Tetapi semenjak
terjadinya finat al-kubra[9]
mereka mulai menyeleksi hadist-hadis yang didapat dari orang lain.
2. Memilih
perawi-perawi hadist yang terpercaya. Para ulama menanyakan hadist-hadist yang
dipandang kabur atau tidak jelas asal- usulnya kepada para sahabat, tabi’in,
dan pihak-pihak yang menekuni bidang ini. Mereka tidak akan sembarangan untuk
meriwayatkan hadist. Mereka akan memilih dari orang-orang tertentu yang
dipandang menguasai dan mengetahui persoalan ini.
3. Studi
kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau
kebohongannya. Oleh karena itu, mereka tidak akan mengambil dari orang-orang
yang dikenal suka berbohong, baik dalam kehidupannya umumnya, suka berbuat
bid’ah dan mengikuti hawa nafsunya, orang-orang fasik, zindiq, dan orang-orang
yang tidak menguasai apa yang
disampaikannya.
4. Menyusun
kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadist-hadist tersebut. Misalnya saja dengan
mengetahui batasan-batasan hadist sahih, hasan dan dha’if[10].
Mulai saat ini perkembangan ilmu
hadist berkembang dengan pesatnya,demi menyelamatkan hadist-hadist Rasul ini.
Jadi pada akhirnya tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk mengetahui
keadaan matan hadist. Maka disusunlah kaidah-kaidah kesahihan sanad hadist
beserta matannya. Bersamaan dengan ini muncullah berbagai macam ilmu hadist,
antara lain seperti ilmu Rijjal Al-Hadist dan ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil yang
berkaitan dengan penelitian sanad hadist.
Dengan
bernagai kaidah dan ilmu hadist, disamping telah dibukukannya hadist,
mengakibatkan ruang gerak para pembuat hadist palsu menjadi sempit. Selain itu,
hadist-hadist yang berkembang dimasyarakat dan termaktub dalam kitab-kitab
dapat diteliti dan diketahui kualitasnya. Dengan menggunakan berbagai kaidah
dan ilmu hadist itu, ulama telah berhasil menghimpun berbagai hadist palsu
dalam kitab-kitab khusus.
BAB
III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Hadist maudhu adalah hadist
yang dibuat-buat oleh para pendusta, dan mereka menyandarkannya kepada
Rasulullah SAW. Hal ini muncul karena kemampuan si pembuat sendiri, dengan
kata-kata rekaannya dan sanad-sanad susunannya sendiri. Tidak jarang, sebagian
dari mereka membuat-buat sanad yang berakhir kepada nabi Muhammad SAW.
Alhamdulillah, bersyukur
kepada Allah karena Allah telah memelihara agama-Nya dari tindakan yang tidak
bertanggung jawab serta Allah menjaga ucapan Nabi-Nya dari kebohongan para
pemalsu, dengan mendatangkan ketengah umat ini ulama yang terpercaya dan
ikhlas, yang telah behasil memilah-milah antara yang buruk dan yang baik.
Merekalah yang memberitahukan kepada kita sebab-sebab pemalsuan hadist. Kiranya
tidak perlu lagi ditanyakan tentang haram hukumnya bagi kita untuk meriwayatkan
hadist maudhu yang telah kita ketahui dengan pasti kepalsuannya. Terkecuali
bila disertai peringatan bahwa hadist tersebut adalah hadist rekaan.
DAFTAR
PUSTAKA
As-Shalih
Subhi.2000. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis.Jakarta
: Pustaka Firdaus
Mudasir.1999. Ilmu Hadis.Babdung : CV Pustaka Setia
Suparta
Munzier.2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Grafindo Persada
[1]
At;Tadrib,102. Sementara itu dalam At-Taudlih, perkataan ini disandarkan kepada
Abdurrahman bin Mahdi
[2]DR.Subhi
As-Shalih.membahas ilmu-ilmu hadist.halaman 230
[3]
Ibib,hlm.207-208
[4]
Mahmud al-thahhan,op.cit.,hlm.70
[5] [5]DR.Subhi
As-Shalih.membahas ilmu-ilmu hadist.hlm 233
[6]
Ibid,hlm 215
[7]
Jalal al-sin’abd al-rahman bin abi bakar al-sayuti, al-laily al-mausu’ah fi
hadist al maudhu’ah,(mesir: al-maktabah al-islamiyah),,juz II,hlm.276-277
[8]
Masih banyak tanda-tanda yang bias dijadikan indikasi ke-maudhu’-an sebuah
hadist. Lihat’Ajjaj Al-Khatib,op.cit.,432-436
[9]
Yang diawali dengan terbunuhnya Utsman bin Affan, kemudian perang Jamal antara
A’isyah dengan Ali bin Abi Thalib, yang terus berlanjut dengan perang shiffin.
[10]
Musthafa Al-Siba’I,op.cit., hlm.91-95.
syukron artikelnya. mantap.
BalasHapusbisnis tiket pesawat menguntungkan www.kiostiket.com