Langsung ke konten utama

Fiqh Muamalah


BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Islam merupakan agama yang sempurna yang mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia secara sempurna. Allah telah menjelaskan berbagai hukumNya baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Terkandung di dalamnya kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Allah telah mengatur manusia dengan aturan baku, penuh hikmah dan tidak ada kezhaliman yang timbul darinya. Sehingga terciptalah kerukunan, kedamaian dan terselesaikanlah pertikaian dan perselisihan sesama manusia ketika memperebutkan hak masing-masing.
Pada makalah ini, penulis akan mengulas hal yang terkait dengan sewa-menyewa dan gadai menurut pandangan Islam dengan merujuk kepada nash-nash / dalil-dalil yang shahih dan pendapat para ulama.
Rumusan masalah
Apakah yang dimaksud dengan sewa-menyewa?
Apakah yang dimaksud dengan gadai?
Bagaimanakah pandangan islam meengenai sewa-menyewa dan gadai?
Tujuan
Untuk mengetahui mengenai sewa-menyewa dan gadai, serta apa-apa saja syarat dan rukun serta hokum sewa-menyewa dan gadai dalam islam.




BAB II
PEMBAHASAN

1. SEWA-MENYEWA
Pengertian sewa-menyewa
Sewa menyewa dalam bahasa arab di istilahkan dengan Al ijarah. Menurut pengertian hukum islam, sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
            Dari pengertian diatas dilihat bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah pengambilan manfaat sesuatu benda. Jadi, dalam hal ini bendanya sama sekali tidak berkurang. Dengan perkataan lain terjadinya sewa menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut.
            Didalam istilah hukum islam, orang yang menyewakan disebut mu’ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut mu’tajir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma’jur, dan uang sewa atau imbalan atas pemakaiaan manfaat barang disebut ajrah atau ujrah.
            Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual ( kesepakatan ). Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung. Apabila akad sudah berlangsung, pihak yabg menyewakan ( mu’ajir ) wajib menyerahkan barang ( ma’jur ) kepada penyewa (musta’jir). Dengan diserahkannya manfaat barang / benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewanya (ujarah).
            Al – ijarah terambil dari kata al – ajr yang artinya adalah pengganti atau upah. Allah berfirman yang artinya :
“ jika kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. “ ( al – kahfi : 77 )
            Defenisi ijarah dalam syara’ adalah akad atas manfaat yang dibolehkan, yang berasal dari benda tertentu atau yang disebutkan cirri – cirinya, dalam jangka waktu yang diketahui, atau akad atas pekerjaan yang diketahui, dengan bayaran yang diketahui.
            menurut para ulama, sewa menyewa didefenisikan secara berbeda – beda, antara lain sebagai berikut :
        1.  Menurut Hanafiyah
عَقْدًُ عَلىَ اْ لمَنَا فِعِ بِعَوْضٍ       
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”.
        2. Menurut Malikiyah
تَسْمِيَةُ التَّعَا قُدِ عَلىَ مَنْفَعَةِ الآدَمِىِّ وَبَعْضِِ المَنْقُوْلَا نِ
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat di pindah kan”.
            3. Menurut Al-syarbini al-khatib:
تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ بِعَوَضٍ بِشُرُوْطٍ
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat”.
        4. Menurut Asy-syafi’iyah:
عَقْدًَُ عَلىَ مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”
Berdasarkan defenisi-defenisi di atas maka dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya.
Hukum sewa-menyewa(ijarah)
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud’alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan. Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
Adapun hukum ijarah secara global terbatas dalam 2 kelompok, yaitu:
Perkara-perkara yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa adanya emergency yang    akan menimpa.
Diantara masalah yang mencakup dalam hal ini adalah ,menurut Malik dan Abu Hanifah bahwa harga sewa harus diberikan sebagian-sebagian sesuai manfaat yang diambil, kecuali apabila ia mensyaratkan harga harus diserahkan diserahkan seluruhnya. Seperti berbentuk suatu ganti tertentu atau sewa dalam suatu tanggungan. Syafi’i berkata, “Wajib memberikan harga saat terjadi akad.”Malik memandang bahwa harga akan dimiliki sesuai dengan kadar ganti yang akan diambil. Sedangkan Syafi’i seolah-olah melihat bahwa keterlambatan pembayaran harga sewa tersebut termasuk kategori jual beli utang dengan utang.
2. Hukum-hukum emergency yang datang belakangan, dan ini terbagi kepada; hal-hal yang mewajibkan adanya tanggungan dan tidak adanya tanggungan; kewajiban adanya pembatalan dan tidak adanya pembatalan; dan hukum perselisihan.
•Pembatalan
Abu Hanifah dan para sahabatnya berkata, “Boleh menggagalkan akad sewa karena adanya alas an yang dating belakangan kepada penyewa, seperti ia menyewa sebuah toko sebagai  tempat berdagang kemudian barang dagangan nya terbakar atau dicuri.” Karena sewa adalah akad atas manfaat sehingga menyerupai pernikahan, dan karena sewa adalah akad berdasarkan atas saling mengganti sehingga tidak batal dan asalnya adalah jual beli.
Dalil yang dijadikan landasan oleh Abu Hanifah adalah bahwa ia menyamakan hilangnya sesuatu yang dengannya manfaat akan didapatkan secara sempurna dengan hilangnya barang yang memiliki manfaat.
•Tanggung jawab (Jaminan)
Menurut para fuqaha ada dua bentuk yaitu: Karena suatu pelanggaran, atau untuk suatu kemaslahatan serta penjagaan harta. Adapun yang disebabkan karena suatu pelanggaran maka tanggung jawab menjadi kewajiban atas penyewa dengan kesepakatan ulama, sedangkan  perselisihan hanyalah mengenai jenis pelanggaran yang mewajibkan serta mengenai kadarnya.
• Hukum perselisihan
Sebuah pembahasan mengenai perselisihan, para ulama berbeda pendapat mengenai seorang pembuat sesuatu dan pemilik barang yang dibuat tersebut yang berselisih tentang sifat produk, diantaranya  Abu Hanifah berpendapat perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik barang yang dibuat,Malik dan Ibnu Abu Laila berpendapat bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat tersebut.
Sebab perbedaan pendapat adalah ketidak jelasan siapa yang menuduh dan yang dituduh diantara keduanya. Apabila pembuat tersebut mengklaim bahwa ia telah mengambilkan barang yang diserahkan kepada pemesan, sedangkan pemesan (yang telah membayar) mengingkari hal tersebut.
Apabila pembuat suatu (barang) berbeda pendapat dengan pemilik barang mengenai pembayaran upah, menurut pendapat yang terkenal dalam madzhab Malik bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat dengan disertai sumpah apabila hal tersebut berlangsung belum lama, sedangkan apabila telah berlangsung lama maka perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik barang.
Begitu pula apabila orang yang menyewakan dan penyewa berbeda pendapat ,ada yang mengatakan bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat barang dan orang yang menyewakan walaupun telah berlangsung lama dan demikianlah sebenarnya.
Apabila orang yang menyewakan dan penyewa, atau orang yang diupah dan orang yang mengupah berbeda pendapat mengenai tenggang waktu yang terjadi padanya pengambilan suatu manfaat, apabila mereka telah sepakat bahwa manfaat tidak diterima pada seluruh waktu yang telah ditetapkan maka menurut pendapat yang masyhur dalam madshab Malik bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan penyewa karena ia adalah orang yang membayar, sedangkan kaidahnya adalah bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan orang yang membayar.
        Apabila perselisihan mereka mengenai jenis jarak tersebut atau jenis sewaan, maka mereka saling bersumpah serta membatalkan kesepakatan sebagaimana perselisihan dua orang yang berjual beli mengenai jenis harga.

Rukun dan Syarat ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarah dalah sebagai berikut :
Mu’jir dan musta’jir yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir dan musta’jir harus baligh, berakal,cakap melakukan tasharruf,dan saling meridhai.
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
Shighat, ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab Kabul sewa menyewa dan upah-mengupah. Misalnya:” aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp.5.000,00-, “ maka musta’jir menjawab:” aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah mengupah misalnya seseorang berkata,”kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp.5.000,00-, kemudian musta’jir menjawab”aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini:
• Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
• Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya( khusus dalam sewa-menyewa).
• manfaat benda yang disewa adalah perkara yang mubah(boleh) menurut syara’ bukan hal yang diharamkan (dilarang).
• benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain(zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
Upah kerja dalam sewa menyewa
Jika sewa-menyewa itu berupa pekerjaan, maka berkewajiban pembayarannya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir, ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaan.
Hak menerima upah bagi musta’jir adalah sebagai berikut:
Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda:
أعطواالأجيرأجره قبل ان يجف عرقه

“Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”.

         Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
Menyewakan barang sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan dengan  yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak disawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kernau itupun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja dalam artian bolrh lebih besar, lebih kecil atau seimbang.
    Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir)  dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir. Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir makan yang bertanggung jawab adalah musta’jiritu sendiri, misalnua menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang karena disimpan bukan pada tempatyang layak.
Batalnya sewa menyewa
    Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan batal(fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
Telah habis masanya
Barang/sesuatu yang disewa rusak sendiri, misalnya rumah roboh sebelum masa sewa habis, tukang pembuat pintu mogok untuk menyelesaikan pekerjaannya
Barang yang disewakan bukan hak pemberi sewa yang sah
 Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa
Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, yang dimaksud dalam hal ini adalah tujuan perjanjian sewa menyewa telah tercapai, atau masa perjanjian sewa menyewa telah berakhir sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
  Adanya uzur. Penganut mazhab Hanafi menambahkan bahwa uzur juga merupakan salah satu penyebab putus atau berakhirnya perjanjian sewa, sekalipun uzur tersebut datangnya dari salah satu pihak. Adapun yang dimaksud dari uzur disini adalah adanya suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
Pengembaliaan sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban ,engembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah tetap (‘iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mahzab hamba;li berpendapat bahwa ketika ijarah terlah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.
2.  GADAI
A. Pengertian
Rahn (gadai) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.
Ada juga yang mengartikan rahn adalah al-tsubuutu wad dawaamu الثبوت والدوام (tetap dan lama)  atau al-habsu wal luzuumuا لحبس واللزوم  (pen gekangan dan keharusan).
 1. Menurut Syafi’iyah
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat   dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj 2/121)

2. Menurut Hanabilah
Rahn adalah “Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni)
 B. Rukun gadai
    Yang termasuk dalam rukun gadai antara lain:
Ada pihak yang menjalin akad (`Aqid), yaitu rahin (yang menggadaikan) dan    murtahin (yang menerima gadai)
 Marhun (barang yang dijadikan jaminan)
Marhun bih (Utang)
Shighat (ijab kabul)
C. Syarat gadai
1. Aqid   
Kedua aqid yaitu rahin dan murtahin harus memenuhi kriteria al-aliyah. Menurut ulama Syafi’iyah, ahliyah adalah orang yang telah sah dalam jual beli yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn. Menurut ulama Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh atau anak kecil yang belum baligh.Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya kecuali jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya dapat dipercaya.
2. Marhun
Mahrun  adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahn. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin. Ulama mensyaratkan marhun antara lain,dapat diperjualbelikan, bermanfaat, jelas, milik rahin, tidak bersatu dengan harta lain, dipegang (dikuasai) oleh rahin, harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
3. Marhun bih (utang) ,yaitu hak yang diberikan ketika rahn.    
4. Shighat
 Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena rahn itu jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
D. Barang yang boleh digadaikan
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai/jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan. (ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustaqni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364).
Barang-barang yang menjadi jaminan biasanya barang yang berharga atau mempunyai nilai ekonomis serta dapat disimpan/bertahan lama. Misalnya emas, tanah, rumah, kendaraan,binatan, dan lain-lain.
D. Hukum Gadai
Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan, baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.Sebagai mana hadits Rosulullah Saw. Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
Dalil dari al-Qur’an
Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang. (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalil dari Sunnah
Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari 3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3 / 1226)
“Dari annas berkata:”Rosulullah telah menangguhkan baju besi beliau kepada orang yahudi  di madinah sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang yahudi itu untuk keluarga beliau”.(HR.ahmad nasai,dan ibnu majah).
Dalil dari as-sunnah adalah hadist Aisyah Ra, bahwasanya ia berkata :
اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“ Bahwasanya  Rasulullah saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya.” ( HR Bukhari, no 1926 )
Adapun dasar pegadaian adalah firman Allah swt
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang di pegang(oleh yang berpiutang)akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain .hendaklah yang di percayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah,tuhanya.dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksianya,karena barang siapa menyembunyikanya,maka sesungguhnya ia adalah orang yang kotor (berdosa hatinya)dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS.Al-Baqarah:283)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sewa menyewa adalah pengambilan manfaat sesuatu benda. Didalam istilah hukum islam, orang yang menyewakan disebut mu’ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut mu’tajir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma’jur, dan uang sewa atau imbalan atas pemakaiaan manfaat barang disebut ajrah atau ujrah.
        Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud’alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Ada beberapa rukun dalam gadai di antaranya: aqid (orang yang berakad) antara rahin(orang yang menggadaikan) dan murtahin(orang yang menerima gadai),marhun(barang yang di gadaikan),marhun bih(utang),shighot(ijab qabul).untuk hukum gadai Mayoritas ulama berpendapat bahwa gadai itu dibolehkan, baik pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, baik ada penulisnya atau tidak ada. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah.














DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi.2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindopersada
http://mahad-ib.blogspot.com/2011/04/gadai-dan-sewa-1.html
http://abusalman1430.wordpress.com/2010/02/13/hukum-gadai-dalam-islam/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Tertunda....

Assalamu’alaikum, wr wb. Masih bersama saya yang sudah lama sekali membiarkan blog ini bertahan tanpa postingan terbarunya. Ucapan terima kasih tak terhingga untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam yang masih mengizinkanku hingga saat ini menghirup sepuasnya udara milik-Nya, melihat dan memandang langit serta laut kekuasaan-Nya, alhamdulillah. Uswatun hasanah nabiullah Muhammad SAW, manusia pilihan dengan segala kemuliaan yang dianugerahkan kepadanya, kekasih Allah, pemberi syafaat di hari hisab nanti,Allahumma shalli’ala Muhammad wa ‘alaaliiMuhammad, assalamualyka yaa Rasulullah. Rinduku padamu ya Rasul. Jumat malam, 13 februari 2015. Setelah melalui hari ini dengan berbagai kesibukan, tubuh meminta untuk sejenak direbahkan dan otak meminta untuk tidak memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu kimia khusus untuk malam ini. Mata seolah protes agar malam ini saja tidak menatap layar laptop. Sementara tangan seolah mengikuti perintah otak agar segera mengambil alih remot televisi yang

Inspirasi Islami

# Hanya engkau yang mampu melakukannya Wahai Hatim.. # 'Isham bin Yusuf pernah mendatangi majelis Hatim Al 'Asham kemudian bertanya, wahai Hatim Al 'Asham bagaimanakah engkau melaksanakan shalat ? Hatim Al 'Asham menoleh ke arah 'Isham bin Yusuf lalu menjawab, jika datang waktu shalat maka saya segera berwudhu baik secara dzahir maupun bathin. Apa yang engkau maksudkan dengan wudhu secara bathin ? tanya 'Isham bin Yusuf Jika wudhu secara dzahir adalah membasuh anggota wudhu dengan air, maka wudhu secara bathin adalah membasuh anggota wudhu dengan tujuh perkara, yaitu, taubat, penyesalan, meninggalkan dunia, meninggalkan pujian makhluq, meninggalkan wibawa, meninggalkan kedengkian dan meninggalkan hasad, jawab Hatim Al 'Asham. Kemudian Hatim melanjutkan, setelah itu saya pergi ke masjid dan mempersiapkann anggota tubuh dan menghadap ke arah kiblat. Pada saat itu saya berdiri diantara rasa harap dan cemas, dan saya merasa bahwa Allah meliha

penulis trilogi 5 menara!! @fuadi1 :)

Assalamu'alaikum . Postingan kali ini begitu luar biasa bagi saya. Alhamdulillah kemarin saya bertemu someone special , yaaahh!! seseorang yang menjadi inspirasi saya dalam menulis. karya nya begitu fenomenal, pernah sekolah di podok pesantren Gontor Jawa Timur, S1 nya jurusan Hubungan Internasional Iniversitas Padjajaran Bandung, dan masih banyak prestasi mengagumkan lainnya. Mau tahu biografi lengkap nya, check this out!! Nama   Lengkap->Ahmad Fuadi Tempat Tanggal Lahir->Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972 Nama Istri->Yayi Riwayat Pendidikan                 :   KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo (1988-1992) Alumni Gontor 1992 Program Pendidikan Internasional, Canada World Youth, Montreal, Kanada (1995-1996) National University of Singapore, untuk studi satu semester (1997) Universitas Padjadjaran, Indonesia, BA dalam Hubungan Internasional, (September 1997) The George Washington University, Washington DC, MA dalam Media and Public Af